HARI ini 12 tahun lalu, bencana tsunami meluluhlantakkan pesisir Aceh. Dunia ikut berduka, warga dari berbagai negara berbondong-bondong membantu Serambi Makkah bangkit. Konflik bersenjata yang mendera Aceh selama tiga dasawarsa mereda. Namun, Aceh harus terus meningkatkan kualitas mitigasi.
Minggu 26 Desember 2004 pagi. Langit Aceh cerah dan warga masih beraktivitas seperti biasa. Pukul 07.58 WIB, gempa 9,2 skala Richter (SR) mengguncang bumi. Pusatnya di dasar Sumadera Hindia, sekira 160 kilometer arah barat Aceh, dengan kedalaman 10 kilometer.
Kepanikan melanda. Warga berhamburan keluar rumah kemudian duduk di tanah. Sulit untuk berdiri, karena guncangannya sangat kuat. Orang-orang berzikir, mengumandangkan azan dan memanjat doa-doa seiring bumi mengayun dan bergetar keras hingga 10 menit, terlama sepanjang sejarah. Beberapa bangunan roboh, seperti swalayan Pante Pirak dan Hotel Kuala Tripa di Banda Aceh.
Guncangan gempa juga terasa hingga semenanjung Malaysia, Thailand, India, Srilanka, bahkan timur Afrika.
Selepas gempa besar, terdengar beberapa ledakan yang diperkirakan dari dasar laut. Sinyal selular mati, komunikasi jarak jauh terputus keculi via radio satelit.
Tak lama kemudian air laut surut, ikan-ikan menggelepar. Karena masih minimnya pengetahuan tentang tsunami, banyak warga di dekat pantai kala itu malah memungut ikan. Sebagian lari ketakutan melihat fenomena langka itu.
Tiba-tiba ombak besar hitam pekat menuju daratan, melumat apa saja di sekitar pantai kemudian menyeretnya hingga 5 kilometer. Tsunami terdahsyat abad 21 itu bukan hanya menyapu Aceh, tapi juga berdampak ke pesisir 14 negara sepanjang Samudera Hindia. Merenggut lebih 200 ribu korban jiwa.
Tak terhitung harta benda yang hilang. Sebagian besar bangunan dekat pantai lenyap ditelan gelombang, hanya beberapa masjid yang tersisa. Mayat-mayat bergelimpangan di antara sampah dan kehancuran hasil kerja tsunami. Laut menelan permukiman hanya dalam beberapa detik. Denyut perekonomian dan aktivitas pemerintahan lumpuh total.
Jerit histeris korban luka dan mereka yang kehilangan orangtua, keluarga, sahabat serta sanak saudara nyaring tedengar di antara lantunan-lantunan takbir memuji Sang Pencipta.
Tsunami menghancurkan pesisir Aceh sepanjang 800 Km, jika ditarik garis lurus hampir setara sepanjang Kota Jakarta hingga Surabaya.
Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias mencatat, 120 ribu rumah penduduk di Aceh hancur total. 600 ribu warga Aceh dan Nias kehilangan tempat tinggal. 1.617 Km jalan, 260 jembatan, dan 690 rumah sakit rusak berat.
Penduduk di sepenjuru dunia tercengang dengan petaka tsunami. Tanpa membedakan ras, suku, agama, mereka bersatu atas nama solidaritas membantu Aceh. 40 negara mengirimkan tentara ke Aceh untuk memberikan bantuan kemanusian. Inilah operasi militer non perang terbesar di dunia.
Pemerintah Indonesia sempat membelenggu Aceh dari asing dengan alasan konflik. Namun, tsunami membuat Aceh jadi daerah yang terbuka. Titik penting dari bencana adalah Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat berdamai setelah 30 tahun lebih berseteru.
Kedua pihak meneken nota perdamaian di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Berakhirlah konflik bersenjata yang merenggut ribuan jiwa manusia dan sendi-sendi kehidupan di Aceh.
Peran paling besar saat tsunami melanda Aceh ditunjukkan jurnalis yang semula geraknya dibatasi oleh Penguasa Darurat Militer dan Sipil. Mereka mendobrak batasan yang dibuat pemerintah untuk memberitakan tsunami Aceh ke dunia luar.
Di tengah duka, kehancuran, dan keterbatasan fasilitas, jurnalis gigih mengabarkan pahit getir tsunami ke seantero jagad raya. Lewat karya mereka, mata dunia terbuka dan menggerakkan solidaritas bangsa-bangsa untuk membantu Aceh.
(sal)